Info Militer Terbaru-Menteri Perindustrian Saleh Husin meminta perusahaan alat sistem utama pertahanan (Alutsista) pelat merah, PT Pindad ikut memproduksi alat berat untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur pemerintah.
"Akhirnya beberapa waktu lalu kami ke Pindad setelah diminta Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) untuk melakukan penambahan alat-alat berat, khususnya ekskavator, bagi proyek-proyek mereka. Kami tanya ke Pindad apakah mereka bisa produksi dan ternyata mereka menyanggupi," ujar Saleh ketika ditemui di Gedung DPR Selasa, (9/6).
Rencananya, lanjut Saleh, ekskavator buatan Pindad akan diluncurkan pada akhir Juni, di mana Kemenperin sudah memesan ekskavator dalam jumlah yang banyak. Kendati demikian, Saleh tak menyebutkan secara detil berapa jumlah ekskavator yang telah dipesan.
"Prototipe-nya sudah jadi, kita juga sudah pesan dalam jumlah banyak, sehingga kemungkinan bulan Juni ini kita sudah bisa launching ekskavator untuk Kementerian PUPR," jelas Saleh.
Aksi Kemenperin bersama Pindad ini terjadi di tengah utilisasi produksi armada alat berat dalam negeri yang belum mencapai kemampuan maksimalnya. Berdasarkan data Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi), kapasitas terpasang industri kini hanya mencapai 40-50 persen. Padahal, kapasitas produksi nasional bisa mencapai 10 ribu hingga 11 ribu unit per tahun, atau seharusnya bisa mencapai 2.500 unit per kuartal.
Ketua Hinabi, Jamaludin, sangat menyayangkan langkah tersebut. Selain menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memaksimalkan utilisasi produksi, hal itu juga dianggap makin melemahkan industri alat berat nasional.
Target Meleset
Tahun lalu, Hinabi mencatat penjualan alat berat di Tanah Air hanya sebanyak 1.298 unit atau 51,92 persen dari target penjualan 2.500 unit. Melesetnya target akibat anjloknya permintaan komoditas ekstraktif.
"Kita memang tidak bisa membatasi langkah pemerintah untuk meminta Pindad memroduksi alat berat sendiri, namun apakah langkah ini tidak mubazir? Padahal industri alat berat kita ini sedang mengalami excess capacity yang lumayan besar. Kenapa tidak memanfaatkan industri kita saja?" terang Jamaludin kepada CNN Indonesia, Rabu (10/6).
Ia menambahkan, penambahan suplai alat berat tersebut juga perlu dikaji ulang, terutama kesanggupan Pindad dalam menyediakan pelayanan purnajual yang juga membutuhkan investasi tidak sedikit. Tak hanya investasi secara modal, menurutnya dibutuhkan juga sumber daya manusia yang terampil untuk melakukan reparasi atas alat-alat berat tersebut.
"Selain itu, dengan penambahan suplai ini apakah Pindad juga siap dalam membangun layanan purnajualnya? Membangun satu gerai purnajual itu tidak murah, SDM-nya pun juga perlu yang mumpuni. Makanya, tarif yang dibebankan ke pengguna alat berat juga tak pernah murah. Rata-rata biaya yang dibebankan ke pengguna alat berat bisa mencapai Rp 500 ribu per jamnya," jelasnya.
Jamaludin mengatakan wacana penyediaan alat berat oleh Pindad sebenarnya wacana lama yang tak kunjung terealisasi. Dia berharap Menteri Perindustrian bisa mempertimbangkan kembali keputusan tersebut mengingat permintaan alat berat pada periode berikutnya diperkirakan akan meningkat secara alami akibat realisasi berbagai proyek pemerintah.
"Jika permintaan meningkat, maka utilisasi produksi diharapkan juga bisa ikut terkerek," tuturnya.
Sebagai informasi, penjualan alat berat pada kuartal I 2015 tercatat sebesar 1.298 unit, atau meningkat 11,4 persen dibanding capaian tahun sebelumnya sebesar 1.165 unit. Dari angka tersebut, sektor yang paling banyak menyerap produksi alat berat nasional adalah sektor konstruksi sebesar 37 persen, yang disusul oleh sektor pertambangan dengan nilai 24 persen, sektor perkebunan sebesar 24 persen, dan kehutanan dengan nilai 16 persen.
Sumber: cnnindonesia.com
No comments:
Post a Comment